Zaman sekarang ini, banyak dari kita, generasi milenial yang sudah memiliki pekerjaan baik. Rasanya, mudah saja bagi kita untuk makan siang di restoran, untuk selanjutnya menikmati secangkir kopi Starbuck di sore hari . Sementara, ketika menemukan tanggal merah hari kejepit kita langsung mengecek online travel agent untuk membooking tiket berlibur ke Bali atau Singapura.
Belum lagi soal investasi. Konon, generasi milenial menjadi kelompok terbesar investor yang masuk ke pasar modal loh.
Dengan pendapatan yang kita miliki, gaya hidup seperti ini ya, tergolong normal-normal saja. Tapi kalau kita membandingkan dengan apa yang dilakukan orang tua kita pada masanya dulu, tentu gaya hidup yang kita jalani sekarang membuat mereka geleng-geleng kepala.
Generasi Milenial vs Baby Boomers
Dulu, jangankan berpikir untuk ngopi di Starbuck, untuk makan Kentucky Fried Chicken saja sudah terasa barang mewah dan hanya dapat dilakukan sesekali.
Kontrasnya perbedaan apa yang kita jalani dibandingkan dengan generasi orang tua kita, bahkan kakek nenek kita, akhirnya memberikan sebuah pertanyaan besar.
Kita bisa hidup lebih enak, apakah karena kita adalah orang yang lebih baik? Apakah karena kita bekerja lebih keras, lebih cerdas, lebih berpendidikan? Atau, karena kita adalah generasi mujur?
Menurutmu, gimana?
Sebelum kita menarik kesimpulan itu, mari kita melihat dulu apa yang terjadi di tempat lain. Di belahan negara Eropa, Amerika, negara-negara maju, hal yang sebaliknya terjadi pada generasi milenial di sana.
Kehidupan Generasi Milenial di Luar Negeri
Kalian pasti pernah kan mendengar generasi baby boomers? Generasi ini adalah generasi orang tua kita yang lahir setelah perang dunia kedua hingga tahun 1964.
Generasi baby boomers ini menjadi terkenal karena merupakan generasi yang lahir di era keemasan masyarakat Amerika. Masyarakat AS yang lahir sebagai generasi ini memiliki kehidupan yang makmur dan merata. Bisa jadi, perwujudan American Dream terefleksi dari apa yang dijalani oleh mereka yang termasuk dalam generasi ini.
Namun setelahnya, mimpi itu semakin memudar. Generasi baby boomers lengser dari usia produktif dan digantikan oleh generasi milenial.
Berkebalikan dengan kondisi para baby boomers, generasi milenial di negara-negara maju justru lebih banyak yang mengalami kegagalan. Mereka menjadi orang yang relatif lebih “buruk” apabila dibandingkan dengan kehidupan orang tuanya saat seusia mereka.
Eits, tapi, jangan keliru karena melihat bagaimana hebatnya anak-anak muda di Silicon Valley, ataupun yang bekerja di Wall Street ya. Di sini, kita berbicara tentang generasi milenial yang berada di main street. Mereka yang merupakan mayoritas, bukan segelintir anak-anak jebolan Ivy League yang memiliki masa depan super cerah.
Terjerat Student Loan
Faktanya, anak-anak generasi milenial di negara-negara maju seperti AS, saat ini, menghadapi tantangan akan biaya kuliah yang sangat mahal. Bahkan tak sedikit loh yang terjerat utang untuk membiayai kuliah, yang dikenal dengan istilah student loan. Kasus college debt di Amerika Serikat yang sudah mencapai hampir USD 2 triliun, atau sekitar USD 39 ribu setiap orangnya. Hal inilah yang disebut-sebut bagaikan bom waktu.
Setelahnya mereka juga memiliki kesulitan untuk membeli rumah, karena sangat tingginya harga properti, sangat jauh dibandingkan daya beli mereka.
Sulit Dapat Kerja
Dan puncak masalah dari semua itu, generasi milenial di sana mengalami kesulitan dalam mencari kerja. Di Eropa, bahkan, angka pengangguran anak-anak muda mencapai prevalensi di atas 20%. Artinya setiap 1 dari 5 orang, tidak memiliki pekerjaan.
Sulitnya mendapatkan pekerjaan membuat banyak generasi milenial di Eropa yang menganggur, dan hanya dapat mengandalkan bantuan pemerintah untuk kebutuhan hidup.
Generasi Milenial di Luar Negeri vs Dalam Negeri
Dengan melihat masalah yang dihadapi para generasi milenials di negara maju, lalu, bagaimanakah menurut kalian?
Apakah segala masalah yang terjadi itu disebabkan karena mereka adalah orang-orang yang malas? Karena mereka orang yang kurang pandai, sehingga menjadi orang yang tidak berhasil dibandingkan orang tua mereka, sehingga mereka mengalami kondisi yang berbanding terbalik dengan kita yang ada di Indonesia? Atau, sesederhana, bahwa mereka adalah generasi yang kurang beruntung?
Memang tidak ada jawaban yang mutlak untuk menjawab sumber permasalahan yang dihadapi oleh para generasi milenial di sana.
Namun, tidak dapat dimungkiri, bahwa masalah ini bermula ketika terjadi relokasi industri besar-besaran dari negara maju ke negara berkembang, terutama Asia, dalam beberapa puluh tahun terakhir. Pada awalnya, relokasi ini bertujuan untuk membuat perusahaan manufaktur menjadi lebih efisien, karena negara berkembang memiliki lahan dan tenaga kerja yang lebih murah.
Pemikiran tersebut tidak salah, terbukti dengan perusahaan-perusahaan tersebut dapat tumbuh semakin besar. Namun, tanpa sadar, perputaran uang yang besar ikut berpindah ke negara berkembang beserta lapangan pekerjaannya. Meninggalkan kalangan kelas menengah di negara maju, yang merupakan mayoritas masyarakat, menjadi pihak yang dirugikan.
Lalu, apakah kondisi yang sama juga terjadi di belahan dunia lainnya? Ternyata, enggak juga.
Kondisi Generasi Milenial di Afrika
Apa yang terjadi di negara maju bukanlah apa-apa bila dibandingkan dengan yang terjadi pada generasi milenial di negara-negara miskin di benua Afrika.
Dengan menjadi orang yang pintar, menjadi orang yang berdedikasi untuk bekerja 20 jam setiap hari saja tidak akan membuat seseorang di Afrika mampu untuk keluar dari kemiskinan.
Bukan karena tidak mampu, tapi karena tidak adanya kesempatan. Dengan kondisinya sebagai negara miskin, pekerjaan yang tersedia di sana hanyalah pekerjaan yang bernilai rendah. Dengan demikian, sekeras apa pun mereka bekerja, nggak akan membuat mereka keluar dari kemisikinan.
Dalam istilahnya sering disebut “working hard working poor “
Generasi Mujur (?)
Setelah kita melihat apa yang terjadi pada generasi milenial di tempat lain, mari kita melihat kembali apa yang menjadi pertanyaan kita.
Apakah kita lebih berhasil karena kita orang yang lebih baik?
Tentu saja, kerja keras dan kecerdasan memberikan kontribusi terhadap kesuksesan setiap orang. Namun, bila kita melihat dari apa yang terjadi di tempat lain—mulai dari apa yang terjadi di negara maju, apalagi yang terjadi di negara miskin Afrika—maka kemudian, kita harus dapat memahami, bahwa menjadi cerdas dan bekerja ekstra keras saja tidak akan pernah cukup..
Kita adalah generasi yang beruntung, tidak tumbuh di masa Indonesia masih sama susahnya dengan Afrika.
So, yuk, sebelum tergoda membanggakan diri, ketahui hal yang bijak dan lihat, kita hanyalah bagian kecil dari sesuatu yang besar. Bersyukurlah, karena kita generasi mujur!