Kamu ingat enggak, dengan mimpi masa kecil kamu?
Ketika masih kecil, saya duduk menonton televisi. Saya terkagum-kagum dengan pesekbola idola saya. Betapa hebatnya yang dia lakukan, membuat orang-orang di sekitarnya menjadi lebih baik, menjadi inspirasi banyak orang, kaya, dan dapat memiliki segala yang dia inginkan.
Hal itu membuat saya bermimpi, suatu saat saya juga ingin menjadi atlet sepakbola yang hebat seperti dia.
Semua dari kita, ketika kecil dulu, pernah memiliki mimpi masa depan yang indah. Kita bermimpi kelak ketika dewasa akan menjadi salah satu orang hebat di dunia. Yah, minimal seperti idola kita. Mimpi itu membuat kita hidup, bersemangat menyambut hari esok mengejar masa depan kita yang hebat. Bener nggak?
Namun ketika dewasa kita mulai dihadapkan pada kenyataan. Mimpi itu memudar seiring dengan realita yang kita hadapi. Sesuatu yang tidaklah terbayangkan ketika kita kecil. Bagaimana bila di masa depan, kita tidaklah hebat seperti mimpi? Akankah kita tetap bersemangat menyambut hari esok?
Mimpi yang Ditelan Dunia Kerja
Dulu ketika awal bekerja, saya bermimpi dalam beberapa tahun ke depan, saya sudah akan menjadi orang sukses. Saya sudah mencapai tahap financial freedom atau kemerdekaan finansial. Sudah tidak lagi menjadi orang gajian yang terbelenggu akan kebutuhan dapur tetap ngebul. Dengan begitu, saya dapat memilih pekerjaan yang benar-benar saya sukai, sesuai panggilan hati..
Namun setelah menjalani dunia kerja tahun demi tahun, saya menjadi semakin jauh dari apa yang saya impikan dulu. Jangankan untuk menjadi hebat, untuk menjadi baik saja, saya merasa masih jauh dari cukup.
Saya hanya orang gajian yang biasa-biasa saja, yang terjebak dalam budaya rat race yang saling membanggakan menjadi karyawan yang datang pagi pulang larut malam, memperebutkan spotlight dan pujian dari atasan. Yang pada akhirnya sama saja: menjadi orang yang menantikan tanggal gajian setiap bulannya, hanya untuk dihabiskan berbelanja yang menyenangkan hati. Seakan membohongi diri, kalau saya baik-baik saja. Belum lagi, rasa “butuh” untuk punya HP yang keren, baju yang fancy, pun mobil terkini. Semua itu terus berulang, dan berulang.
Waktu yang terus berjalan membuat mimpi masa kecil itu semakin pudar. Hingga, di satu titik saya tersadar. Tanpa bermimpi untuk berhenti bekerja, meraih financial freedom dengan gaya, suatu saat nanti saya juga pasti akan berhenti bekerja. Saat itu, waktu saya akan habis.
Saya tidak bisa bermimpi tentang diri saya yang kereen di esok hari selamanya! Mengapa? Karena waktu sudah berjalan cukup lama. Hingga akhirnya habis.
Menyadari hal itu, saya pun menjadi sangat ketakutan. Bisakah saya menjadi orang hebat? Atau, ternyata saya akan kehabisan waktu?
Haruskah Saya Melepas Mimpi?
Saat itu, tanpa terasa, saya sudah berkendara sudah cukup jauh. Saya bukan lagi seorang fresh graduate yang masih penuh harapan, penuh energi.
Saya adalah seorang karyawan yang telah bekerja selama bertahun-tahun lamanya, yang sudah melalui pahit manisnya realita. Waktu mengajarkan saya untuk menjadi realistis, mengakui apa yang saya miliki sekarang adalah jauh bila dibandingkan mimpi yang saya angan-angankan di awal dulu.
Melepaskan mimpi besar yang diangankan-angankan sejak dulu tidaklah mudah. Rasanya seperti mengakui kekalahan kita sendiri. Berat, bercampur ada rasa malu menyisip. Rasanya seperti membuat diri kita menjadi pecundang dalam kisah kita sendiri.
Padahal dalam film-film inspiratif dan motivasional itu kerap ada quote-quote keren tentang jangan pernah berhenti bermimpi, tidak ada kata terlalu tua untuk memulai, jangan pernah menyerah, dan sebagainya. Tapi setelah melalui perjalanan panjang ini, saya merasa sudah terlalu tua untuk melanjutkan mimpi saya yang hebat di esok hari itu.
Memang banyak orang yang tetap mempertahankan mimpinya walau usianya sudah menua, dan mampu menghadapi realita yang bahkan jauh lebih sulit dari yang saya hadapi. Tapi perjalanan waktu telah mengubah saya.
Hingga pada akhirnya, saya memilih berhenti mengejar mimpi itu.
Saya Kalah?
Tidak, bukannya saya kalah, bukannya saya menyerah. Tapi saya memilih berhenti hidup di dunia mimpi. Akan lebih baik bagi saya untuk menguatkan hati dan menerima jalan yang saya lalui tidak berada dalam jalur mimpi di esok hari itu.
Namun, saya tetap bermimpi. Bagaimanapun, saya membutuhkan mimpi. Mimpilah yang menjadi sumbu semangat saya. Akan tetapi, sekarang saya memilih mimpi yang lain.
Saya memilih melanjutkan perjalanan, untuk mengejar mimpi hebat lainnya, berbekal apa yang sudah saya miliki sekarang.
Semoga saya, kamu, kita, yang telah melalui perjalanan panjang, naik turunnya kehidupan, dapat berhenti menengok ke belakang. Kita dapat menerima apa yang sudah dimiliki sekarang. Dan, kemudian melanjutkan perjalanan, mengejar mimpi-mimpi hebat lainnya.