Ketika saya bermain ke rumah tetangga beberapa waktu lalu, kami berbincang dengan topik yang cukup menarik. Sebagai informasi doi ini bekerja di Bank Indonesia, pernah tugas di luar negeri beberapa tahun, jadi jelas orang pinter la yaa… Kami membahas topik tentang pindah ibukota yang sedah hangat. Doi mengatakan begini “Waah jatuh ini harga properti, sekarang aja uda mulai keliatan turuun…“
Saya rada shock denger doi ngomong gitu, haah elo mikir harga properti jatooh gara–gara mo pindah ibukota, aah yang boneng…
Kalo soal harga turun, ya kita kan sudah tahu yaa periode properti boom sudah lewat di 2009 – 2013, harga properti sekarang menjadi mahal, dan oversupply untuk apartemen dan gedung perkantoran. Makanya harganya turun di secondary market, bukan karena mo pindah ibukota laah.
Tapi topik tersebut membuat saya tertarik untuk mencari informasi. Saya ubek–ubek, memang ga banyak yang bahas tentang calon (mantan) ibukota Jakarta ini. Yang dibahas hanya bagaimana harga tanah di Kalimantan yang akan membumbung tinggi, sektor–sektor yang diuntungkan dengan pembangunan yang masif di sana.
Let’s find out, how about Us??
Pengalaman Negara yang Pernah Pindah Ibukota
Menurut saya kalau harga properti untuk jatuh karena mo pindah ibukota, trus Jakartanya jadi lesu darah, rasanya siih tidak. Tapi ini kan pure opini pribadi yaa, bukan fakta, maka saya cobalah cari tahu data dari pengalaman beberapa negara lain yang pernah pindah ibukota.
Baca juga: Analisa Saham Properti
Dari hasil ubek–ubek tersebut terdapat pengalaman beberapa negara yang melakukan pemindahan ibukota. Namun mencari yang cukup relevan dalam kondisi ekonomi yang tidak jauh berbeda cukup sulit.
Australia dan Russia pindah Ibukota sudah lama sekali lebih dari 100 tahun lalu. Sementara Malaysia hanya pindah tidak terlalu jauh, seperti dari Jakarta ke Bekasi. Maka tidaklah relevan bila menggunakan contoh-contoh di atas untuk dibandingkan.
Maka akhirnya hasil pencari mengerucut ke Brazil pada tahun 1960, dan Kazakshtan dia khir 90an. Data paling mudah yang saya dapatkan adalah Brazil. Walaupun waktunya sudah cukup lama 50 tahun lebih.
Ketika itu Ibukota Brazil dipindahkan dari Rio de Janiero ke Brasilia, tujuannya supaya pembangunan ekonomi tidak hanya terfokus pada daerah yang dekat pantai. <iriplah seperti cita-citanya Presiden kita ga mau Jawasentris lagi.
Dari Rio ke Brasilia
Saya tidak berhasil mendapatkan data harga properti di Rio tahun 60an. Sementara kota Brasilia harga tanahnya mungkin masih gratis kalii yaa dulu itu =P
Sebagai gantinya saya melihat dari pertumbuhan penduduk. Kira–kira logika saya, bila pertumbuhan penduduk turun, apalagi sampai negatif, maka itu merupakan indikasi yang jelas pasti harga propertinya jatuh.
Maka saya mencoba memperhatikan pertumbuhan penduduk dari tahun 60 sampai 70. Apa yang terjadi pada pertumbuhan penduduk di Rio ketika terjadi perpindahan ibukota tahun 60, hingga 10 tahun kemudian?
FYI, proses pembangunan ibukota baru Brasilia ini dimulai pada tahun 56 dan selesai ditahun 60. Jadi bisa kita asumsikan pertumbuhan penduduk di Rio dari tahun 50 ke 60 adalah pertumbuhan normal
Dari data yang saya dapatkan dari website yang saya lupa namanya (jangan ditiru yaa =P). Terlihat pertumbuhan penduduk di kota Rio selama 1960–1970 tetaplah normal sekitar 4% setiap tahun. Sehingga dapat kita simpulkan, pembangunan tetaplah terjadi. Dan tidak ada ceritanya penduduk sampai berkurang =P
Sementara jelas pada Brasilia, pertumbuhan penduduk sangatlah masif dari 35 ribu jiwa di tahun 50, hanya 1%nya Rio, menjadi 1,2 juta di tahun 80 menjadi 14%nya penduduk Rio.
Tidak dapat kita pungkiri, pertumbuhan di ibukota baru akanlah sangat masif!!
Pertumbuhan pendapatan masyarakat di ibukota baru juga sangat luar biasa (22k), bahkan mengalahkan Rio saat ini (11k).
Yaa bersyukurlah yang mendapatkan keuntungan–keuntungan dari pindah ibukota, pejabat – pejabat dan koleganya itu. Tapi yang kita ingin tahu kan, masalahnya bagaimana nasib kita sebagai calon (mantan) ibukota?
Mantan Ibukota Tetaplah Positif
Dari data yang kita dapatkan di atas maka terlihat Rio tetaplah bertumbuh, peluang – peluang akan tetaplah ada.
Harga properti di Rio pun masihlah tetap lebih tinggi dari ibukota Brasilia. Rata – rata harga per meter apartemen dipusat kota adalah $ 2.757, sementara di Brasilia $ 2.314.
Positifnya, distribusi ekonomi betul-betul terjadi bila melihat contoh Brazil.
Untuk Ibukota lama, akan membantu mengatasi masalah macet, padat, polusi.
Dengan distribusi uang, maka ekspektasi pertumbuhan akan lebih melandai, kenaikan harga properti lebih terkontrol, which is positif, akan lebih terjangkau untuk kita kalangan milenials.
Kita juga tahu Pusat Bisnis itu di Jakarta, apa iya bisnis-bisnis bakal relokasi juga?? Rasanya tidak akan. Kualitas infrastrukturnya jelas jauh berbeda, buat apa juga bisnis ini buang–buang duit ikutan pindah?
Ingat belanja pemerintah itu cuma 10%nya ekonomi Indonesia, sementara konsumsi masyarakatnya 55%
The money still here!!!
Summary Pindah Ibukota
Saat ini penduduk samboja sepaku hanyalah 92 ribu jiwa, miriplah ya seperti Brasilia 50 tahun lalu.
Pertumbuhan penduduk yang masif jelas akan terjadi dalam 20–30 tahun ke depan. At least setidaknya, kita bisa ekspek ada 1 juta PNS yang akan pindah ke ibukota baru ini. Dan dana sekitar Rp 500 triliun untuk pembangunan ibukota baru ini.
Tapi cerahnya prospek calon ibukota baru tidaklah mematikan sinar dari ibukota yang lama.
Rio tetaplah lebih besar dari Brasilia, Sydney tetaplah lebih besar dari Canberra, New york tetaplah tidak bisa ditandingi Washington.
20 tahun setelah Kazakshtan memindahkan ibukota dari Al Maty ke Astana pun juga sama.
Sang mantan ibukota Al Maty tetaplah kota yang lebih ramai. Harga apartemen per meter juga tetap lebih tinggi USD 1.185 berbanding USD 935.
Maka bila kita mengkhawatirkan kota Jakarta akan tenggelam seperti kondisi tanahnya, maka jawabannya adalah tidak
Jakarta akan tetap bertumbuh, berubah, dan berevolusi.
Demo akan berkurang (jauh cyin =P). Menjadi lebih affordable untuk penduduknya, kemacetan akan lebih terurai, dan akan terus menciptakan peluang–peluang baru.